“Masihkah Hedging Menjadi Penyelamat?”
Foto Google |
Banyak entitas ketar-ketir akibat fluktuasi rupiah belakangan ini. Masihkah hedging menjadi penyelamat?
Kalangan pengusaha yang familiar dengan barang-barang impor harus putar otak untuk menyiasati mata uang rupiah yang masih terkapar. Sejak medio Desember tahun lalu hingga awal Mei ini, rupiah tak jauh beranjak dari kisaran Rp13.000. Tak pelak, Bank Indonesia merekomendasikan hedging (lindung nilai) atas semua transaksi yang menggunakan valuta asing.
Utang luar negeri dari swasta yang sangat mencolok telah ikut berkontribusi menjatuhkan nilai rupiah dari mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat (USD). Lebih parah lagi, menurut data BI, dari total utang swasta ternyata sebanyak 47 persen tak memiliki fasilitas hedging.
“Padahal utang luar negeri swasta dan BUMN dalam lima tahun ini naik signifikan,” sindir Gubernur BI, Agus Martowardojo belum lama ini. Hingga April 2015, utang luar negeri swasta sudah menembus angka USD162,8 miliar atau sekitar Rp2.106 triliun dengan asumsi kurs Rp13.000 per USD1. Angka itu sekitar 55,7 persen dari total utang USD266,1 miliar. Sisanya, utang luar negeri sektor publik sebanyak USD129,7 miliar.
Dengan tidak adanya hedging, nilai utang tersebut bakal menggunung di saat kondisi rupiah makin melemah. “Makanya, BI mewajibkan perusahaan melakukan hedging apabila ingin mengambil utang luar negeri atau bertransaksi lewat valas,” kata Agus. “Hedging penting untuk memitigasi risiko yang sewaktu-waktu dapat muncul akibat fluktuasi mata uang ini. Pengusaha sebaiknya tidak melakukan spekulasi di tengah gejolak kurs ini. Justru harusnya mencari manfaat dari usahanya, jangan mencari manfaat dari risiko,” ia menambahkan.
Masihkah Hedging Menjadi Penyelamat?
Hedging dimaksudkan untuk melindungi perusahaan dari fluktuasi harga, dalam hal ini kurs rupiah terhadap mata uang asing. Hedging membantu mengurangi tekanan risiko yang berhubungan dengan perubahan kurs dan dapat membantu perusahaan mencapai hasil seperti yang direncanakan.
Tapi seberapa besar hedging dapat menolong keuangan perusahaan yang semakin tergerus depresiasi rupiah ini? Kalangan pengusaha justru menilai hedging tak lagi efektif di kala rupiah terus anjlok makin dalam. Hampir semua industri terpukul dengan kondisi ini. Industri manufaktur mengaku yang paling terpukul dengan depresiasi rupiah ini.
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia, Irvan K. Hakim menyebut, penguatan kurs dolar AS saat ini sangat membebani biaya operasional perusahaan industri baja. Komponen energi dan bahan baku mencapai 80% dari total biaya produksi di industri baja. Akibatnya, marjin perusahaan akan tergerus signifikan.
“Ditambah lagi kenaikan biaya lain membuat beban perseroan kian bertambah,” keluhnya. Memang idealnya kenaikan harga produksi dibebankan ke konsumen. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu. “Karena konsumen juga mempunyai daya beli yang terbatas,” ia memaklumi.
Namun, anjuran dari otoritas moneter agar pihak industri baja melakukan hedging di tengah kondisi depresiasi rupiah itu dirasa tak terlalu menolong. Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. “Kami sudah lama hedging untuk transaksi penjualan sebesar 50 persen. Tapi hedging ini kan ada biayanya dan tidak menutup risiko dari kenaikan dolar AS tersebut,” aku Irvan.
Stress Test untuk Simulasi Krisis
Menyikapi terpuruknya rupiah ini, otoritas keuangan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat simulasi stress test terhadap beberapa perusahaan, baik itu perbankan atau non bank. Stress test ini dilakukan untuk melihat kondisi ketahanan perusahaan tersebut dari goncangan depresiasi rupiah. Kesimpulannya, kendati saat ini masih dalam posisi baik, tapi rata-rata mereka merasa sangat terpukul dengan pelemahan rupiah ini.
BI mengklaim jika beragam skenario atau metode yang dilakukan otoritas moneter itu sebetulnya masih relatif baik-baik saja. Tetapi diakui memang banyak korporasi yang mengalami tekanan karena fluktuasi nilai tukar rupiah akhir-akhir ini. Tekanan itu bisa berbentuk turunnya rasio likuiditas dan rasio profitablitas perusahaan.
Namun yang terkena tekanan paling besar adalah korporasi yang sebelumnya memang sudah agak bermasalah. Berdasarkan informasi BI, setidaknya sudah ada 11 korporasi yang mengalami likuiditas negatif. Sementara kemungkinan korporasi masuk zona stress dan stress test itu mencapai 52,3 persen. Pun demikian dengan sektor perbankan. Ada 25 bank yang terkena perlambatan akibat imbas dari stress test tersebut. Ini terlihat dari penurunan capital adequacy ratio (CAR) sejumlah perbankan akibat stress test itu.
Data yang lebih mengejutkan datang dari OJK. Disebutkan Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK, melalui stress test terhadap perbankan nasional, ia memperkirakan akan ada masalah serius di dunia perbankan Indonesia jika kurs rupiah mencapai Rp15.000 per dolar. “Ada satu hingga lima bank besar nasional yang akan kena hit (hantaman) bila depresiasi rupiah tembus ke level Rp15.000.”
BI “Membiarkan” Depresiasi Rupiah
Tudingan minor datang berbagai pihak terhadap kondisi rupiah yang terkapar sudah berbulan-bulan ini. Bahkan, disinyalir kondisi ini seperti diharapkan oleh BI, makanya selama ini otoritas terkesan melakukan pembiaran. Adler Manurung, Ketua Komisi Tetap Fiskal dan Moneter Kadin cukup keras mengkritik BI. Ia menuding kondisi saat ini sebagai akibat BI melakukan permainan agar rupiah terdepresiasi.
“Sejak Desember tahun lalu rupiah sudah terkapar. Hipotesis saya ini terjadi karena BI ikut main di pasar. Mungkin ada keuntungan yang BI dapat dari aksinya itu. Padahal, gejolak rupiah ini sangat berpengaruh terhadap para pengusaha, terutama pengusaha kecil dan menengah,” ujarnya. Menurut Adler, ulah BI itu membuat dolar AS menjadi liar dan tak terkontrol.
Ekonom senior, Anton Gunawan juga mengkritik posisi BI yang terlihat ‘nyaman’ dengan rupiah yang terseok-seok di atas Rp13.000. Ia menilai langkah itu ditempuh BI hanya untuk menjaga current account deficit (CAD) atau defisit neraca transaksi berjalan.
Dalam ekonomi makro, CAD merupakan satu dari dua komponen penting penghitungan neraca pembayaran. Komponen lainnya adalah capital account. CAD merefleksikan pendapatan bersih nasional yang dihitung berdasarkan selisih nilai ekspor dan impor, sementara capital account merefleksikan perubahan atas kepemilikan aset secara nasional.
Pada tahun lalu, CAD Indonesia tercatat mencapai 2,95 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Memang sedikit turun dibandingkan defisit pada 2013 yang di angka 3,18 persen. Namun, untuk tahun ini masih tetap tinggi. BI sendiri mematok CAD berada di kisaran 3,2 persen.
Ketakutan BI itu, di mata Anton, sangat kentara dari kebijakan moneternya sejak 2013 lalu dengan mematok tinggi BI rate. April lalu masih bertengger di level 7,5 persen. “Namun BI tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga lantaran besarannya sudah cukup tinggi,” tegasnya. “Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunga dan melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.”
Ia sendiri memprediksi hingga akhir tahun rupiah akan lebih baik di level Rp12.800 dengan dukungan program-program pemerintah yang efektif dan bisa memancing investor asing. Apalagi dalam kondisi saat ini, jika BI harus melakukan intervensi, tak lagi akan menguatkan nilai tukar rupiah, namun hanya menjaga volatilitasnya. Anton sepakat mekanisme yang tepat adalah melalui hedging. Walaupun mahal, tapi akan lebih meringankan beban perusahaan.
Namun di sisi lain, Anton mengingatkan pasar hedging dan pasar swap Indonesia yang masih kurang dalam. Selama ini yang banyak menyerap masih BI. Sementara kalangan perbankan masih belum berani mengeluarkan pasar swap. “Volatilitas pasar jangan dilawan. Yang mesti dilakukan regulator adalah memperdalam pasar,” tandas dia. *TOM
(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Juni – Juli 2015)