Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rempongnya Ijab Kabul Beda Suku/Pulau/Logat Bahasa (09 Aug 09 - 09 Aug 18)


Assalamu'alaikum :)

Tepat di tanggal 9 Agustus kemarin, usia pernikahan saya dengan si papidady (panggilan abang Darrell sewaktu kecil ke papinya) sempurna memasuki usia 9 tahun.
Sungguh gak terasa, ternyata saya sudah menghabiskan nyaris 1/10 kala bersama lelaki manis berjulukan Ade, yang dulu saya panggil 'kakak Ade' (lucu ya, kayak abang adek an, hihihi).
Lalu, orang-orang memanggil kami dengan sebutan, 'Ade Rey', kayak binaraga si Ade Rai hahaha.


Baca :  #AdeReyLoveStory - Akhirnya Jadian dan Saya Punya Pacar (MJP)
Sebenarnya, jauh sebelum kami menikah, saya sudah menjalin kekerabatan dengan lelaki ini selama 8 tahunan (lama banget ya, kalah cicilan mobil, lol).
Jadi, hingga sekarang, saya sudah erat selama 17 tahun dengan lelaki tersebut, pantesan saya kadang bosan *eh , lol.

Momen ulang tahun buku nikah kami, menciptakan saya jadi teringat kembali, bagaimana seru rempongnya kami dikala hendak menikah dulu.
Si papi yang pendiam dan gak kunjung berani ke rumah ortu (aslinya sih bukan gak berani, tapi duitnya yang mikir-mikir, lol).

Gimana enggak?
Saya memang tinggal di Surabaya sudah tidak mengecewakan lama, bahkan semenjak tahun 2007 saya sudah menjadi warga Surabaya dengan ber KTP Surabaya.
Tapi ortu dan keluarga besar saya semua di Buton.
Eh ada sih om saya (adiknya mama) di Surabaya, jadi si papi hanya sanggup main ke sana, dan itupun om saya gak berani mutusin apa-apa.

Parahnya lagi, di rumah kami gak ada telepon, bahkan HP juga gak ada, orang mama saya tinggal dan bertugas di sebuah desa terpencil yang dulu belum ada sinyal HP.
Jangankan dulu, kini saja masih sulit dapetin sinyal yang bagus buat nelpon.

Makara kebayang kan bagaimana bingungnya si papi dulu.
Dianya bingung, sayanya kesal, hiks.

Pendek kata, hasilnya saya yang bantuin si papi untuk ngomong ke ortu (gak keren banget), dan memang sebelumnya si papi sudah pernah main ke Buton dikala tahun 2005.
Dan juga orang renta saya sudah pernah ketemu si papi dikala mereka ke Surabaya menghadiri wisuda saya.

Lucky us, mama oke dan suka sama si papi, gegara dia sabar banget (padahal mah bukan sabar, tapi kalah dari Rey, lol). Kalau bapak saya mah ikut saja, ia memegang janjinya dulu, katanya kalau kami sudah selesai kuliah dan kerja, bebas menentukan jodoh siapapun.
Jadi, dikala saya memberitahu mama kalau kami bakal menikah, mama menyambut gembira.

Ah bekerjsama males nulis ini, soalnya kagak ada romantisnya sama sekali, hiks.
Tapi gak apa-apa deh, sebagai kisah buat anak cucu kami kelak, bahwa orang tuanya ini menikah dalam kerempongan yang sangat.

Tidak ada yang namanya lamaran, tidak pula ada yang namanya peningset etc itu, orang renta saya hanya meminta uang buat mahar, yang aslinya harus tidak mengecewakan banyak, mengingat saya masih keturunan orang Buton, dan sesuai moral di sana, jikalau perempuan Buton menikah dengan suku di luar Buton, maka uang maharnya tidak mengecewakan berlipat.
Penyerahan cincinnya bahkan diwakili kakek-kakek alasannya harus dibacain doa atau mantra hahaha

Tapi, saya males jikalau harus gontok-gontokan persoalan mahar, mau nikah saja susah, gak nikah-nikah ditanya terus kapan nikah, hasilnya saya nawar dengan kesanggupan pihak keluarga si papi saja.

Sungguh, mungkin hal ini yang menciptakan orang renta saya kecewa, tapi mereka tutupin sendiri.
Mama gak pernah bilang dengan jujur berapa uang diberikan keluarga si papi, ke keluarga besar kami, dan semua kelengkapan menikah kami, mama yang siapin.

Drama demi drama menghiasi persiapan nikah

Sebelum hasilnya buku nikah kami jadi, bermacam-macam drama terjadi di kekerabatan kami.

Drama pertama di mulai dengan drama antara saya dengan si papi gegara saya merasa gak adil saja. Untuk menikah, saya harus melewati pertanyaan-pertanyaan sakral dari orang tuanya, sedang si papi bahagia aja gak sedikitpun dicerewetin orang renta saya. *KZL.

Drama kedua, yaitu pemilihan tanggal pernikahan.
Orang renta si papi gak banyak campur, mereka menyerahkan semua ke kami, dan hasilnya saya nanya mama dong, apa jawabannya?
"Terserah kalian"
ya ampuuuuunnn....
Sudahlah nelpon mama itu sulit, nunggu ia tiba ke kawasan yang ada sinyal dulu gres sanggup telpon, eh jawabannya "terserah" gitu.
Bingung teramat sangat, saya disuruh pesan permintaan di Surabaya, sedang acaranya di BauBau.
Saya harus menyesuaikan jatah cuti dari kantor untuk nikah tersebut.
Dan bahkan orang renta saya gak mau ngasih tanggal?

Saking kesalnya saya cari sendiri tanggalnya, dan putuskan di tanggal bagus saja, alasannya abang saya Jouke berpesan untuk bikin program di hari Minggu saja, dan kebetulan saya menemukan tanggal bagus di hari Minggu, 9 Agustus 2009.
Sewaktu tau tanggal tersebut, orang renta si papi agak pengen protes, alasannya katanya kurang bagus.
Tapi alasannya gak mau jadi persoalan lagi, ya ikut saja.
Yang terperinci kalau diprotes saya bakal kesal juga, lah dimintain tanggal, katanya terserah kami, giliran kami tentuin, eh salah juga, *sigh.

Drama ketiga, koper besar saya berisi permintaan dan perlengkapan lain, nyaris hilang di Pelabuhan Raha - Sultra.

Waktu tahun 2009, bandara di BauBau belum jadi, saya harus naik pesawat dan turun di Kendari kemudian meneruskan naik kapal Fery ukuran sedang gitu untuk mencapai pulau Buton.
Dari pelabuhan Kendari harus transit sejenak di pelabuhan Raha, dan dikala itu seseorang dengan pedenya mengangkat koper besar saya pribadi tanpa ngomong-ngomong.
Beruntung, di tengah pusingnya kepala gegara mabuk maritim alasannya kapal oleng oleh ombak semenjak di Kendari, saya masih sanggup mencicipi dan melihat kalau itu yaitu koper saya.
Nyariiiisss saja pernikahan ditunda gegara permintaan hilang hahaha.

Drama keempat, di hari H.
Si papi harus berpakaian moral Buton, dan alasannya ternyata buat make baju moral saja harus dibacain doa dulu ama orang-orang renta adat, jadinya makai bajunya di rumah kakaknya mama.
Pas udah siap semua, dan si papi siap dianter ke rumah, eh kendaraan beroda empat pengantennya yang jauh hari sudah disiapkan oleh bos mama saya, lenyap dari parkiran depan rumah tante.
Terpaksa si penganten alias si papi harus naik kendaraan beroda empat Kijang yang mana dia harus meringkuk dengan susah payah, alasannya dipinggang bab belakang ada keris, dan kepalanya yang jangkung menggunakan topi moral yang menjulang juga.
Pengantinnya bahkan gak dirias sama sekali :D

Si papi harus meringkuk menyerupai itu selama 15 menitan untuk hingga ke kawasan penganten cewek yaitu saya yang sudah sedikit panik alasannya ditanyain penghulu mulu, mana penganten prianya? alasannya hari itu ia kudu mengawinkan 3 pasangan, hadeh.

Sungguh, bekerjsama gak ada romantis-romantisnya mengingat pernikahan kami dulu, hiks.
Menyatukan 2 buah keluarga dengan perbedaan yang sangat tidak mengecewakan ekstrim itu sungguh sulit.
Sudah bahasanya beda, orang renta saya kurang sanggup mengerti bahasa orang renta si papi alasannya ngomongnya terlalu pelan dan kadang diselingi logat dan bahasa Jawa.
Sedang orang renta si papi juga lebih resah mengerti bahasa orang renta saya, gegara orang Buton ngomongnya suka pakai kata yang di bolak balik.

Saya harus selalu ada di antara mereka, untuk mengartikan dikala kedua belah pihak resah *sigh.

Yang make up in malah kayak nemplokin terigu di wajah saya hiks, padahal pakai salon yang kini udah hits di BauBau

Jarak yang terpisah ribuan KM serta transportasi yang masih sulit dijangkau.
Teknologi belum secanggih sekarang.
Sungguh saya pusing mengingat rempongnya dulu kami menikah.

Pakai drama mati lampu pula pas mau tanda tangan buku nikah hahaha
Adat yang sangat berbeda, namun Alhamdulillah orang renta saya amat sangat diacungin jempol, mereka lebih menentukan menutupi semua kekurangan yang seharusnya diberikan oleh pihak si papi.
Dan menyampaikan kalau perlengkapan lainnya di Surabaya.

Padahal, kalau harus mengikuti adat, banyak hal yang harus dilakukan pihak si papi sebelumnya.
Seperti :
  • Tauraka atau lamaran, prosesi ini biasanya malah dilakukan 2 kali, yang pertama hanya pertemuan 2 keluarga saja, yang kedua yaitu lamaran lebih besar dengan mengundang tetangga dan dikala itulah diadakan penyerahan semacam peningset kalau gak salah dalam moral Jawa. Tapi berbeda dengan moral di pulau Jawa yang mana peningset itu seperangkat keperluan wanita, kalau di Buton malah seperangkat perlengkapan kamar, dari ranjang, lemari, kasur, bantal, meja rias dan lain-lain.
  • Negosiasi mahar, dalam moral Buton bekerjsama ada tingkatan-tingkatan mahar yang harus di bayar, mengingat di sana masih berlaku yang namanya strata sosial. Dan biasanya untuk orang dari suku luar Buton bakalan beda lagi hitungannya.
  • Posuo atau pingitan, saya hanya menjalani 1 malam di pingit saja, itupun saya hanya tidur pulas alasannya ditemani nenek-nenek yang gak pintar berbahasa Indonesia, sedang sayapun tidak menguasai bahasa Buton, hahaha.
Masih banyak hal-hal yang terpaksa kami hilangkan, bahkan selepas ijab kabul kemudian diteruskan resepsi di siang hari, sorenya kami malah bersih-bersih rumah. Sungguh penganten yang gak keren banget hahaha.

Intinya, pernikahan kami dulu bekerjsama menyerupai memenuhi harapan orang renta untuk memajang kami di Buton, memberi tahukan kepada tetangga, bahwa si anak gadisnya mama saya sudah menikah sekarang, jadi gak boleh lagi ada yang gosipin kalau saya sudah nikah siri di Surabaya dan bahkan sudah punya anak 1, lol.

Ataupun ada yang gosipin kalau saya kumpul kebo alias tinggal bareng lelaki tanpa ikatan pernikahan.
Wew..

Meskipun demikian, kenangan tersebut akan terus tinggal diingatan kami, sebagai salah satu pengingat dikala kami merasa frustasi satu sama lainnya, dan ingin memisahkan diri.
Ada banyak hal yang sudah kami alami untuk menciptakan buku nikah tersebut.

Buku yang susah payah dan penuh drama kami dapatkan, yang juga ngurus bukunya juga penuh drama, alasannya dikala itu saya sudah jadi warga Surabaya, demikian juga si papi, sedang kami harus menikah di Buton.
Saya lupa dulu aturannya gimana, kalau gak salah kami harus lapor dulu ke Surabaya, terus datanya saya bawa ke Buton dan untungnya dengan kekuatan duit (iyaaa, pakai nyogok soalnya waktunya udah deket banget) hasilnya si petugasnya mau bikinin saja surat nikahnya.
Namun untunglah masih sanggup sumringah hahaha

Jadiii beginilah kami, warga Surabaya dengan surat nikah keluaran BauBau hahaha.
Bikinnya jauh, biar buku ini selalu berdampingan hingga mau memisahkan kami, aamiin.

Kalau teman-teman, gimana kisah nikahnya?
Share di komen yuk :)

TPJ AV - 10 Agustus 2018

Love

REYNE RAEA