Tidak Ada Suami Yang Baik Di Dunia Ini
Assalamu'alaikum :)
#FridayMarriage
Menikah, sejatinya ialah beribadah dan salah satu bentuk ibadahnya ialah KOMUNIKASI!
Setidaknya, selama menikah hingga 9 tahunan ini, hal tersebutlah yang bisa saya simpulkan dari menikah.
Beberapa hari ini instagram story dipenuhi pembahasan mengenai
Mulai dari yang sharing mengenai kehidupan pernikahannya dengan goresan pena yang bijak, hingga dengan goresan pena yang terkesan sedikit menjudge hehehe.
Mungkin bukan maksudnya ibarat itu, cuman ybs terlalu semangat kali ya.
Well, kali ini saya juga mau ikutan membahas wacana dilema yang ramai dibicarakan tersebut, tapi ibarat khasnya, saya membahas bukan dari POV expert ataupun semacamnya, saya hanya ingin bercerita atau sharing aneka macam dilema ijab kabul yang sudah pernah saya alami sendiri, baik dalam POV anak yang ortunya sering bermasalah, POV seorang istri yang sudah menikah bertahun-tahun, ataupun dari dongeng dilema banyak sahabat yang biasa dengan senang hati membutuhkan sedekah kuping saya :D
Belajar dari ijab kabul orang tua
Saya pernah berada di posisi menjadi anak yang orang tuanya selalu bertengkar keras.
Saya sudah pernah menyinggung masa kecil saya yang sederhana namun sering diselimuti ketakutan alasannya ialah orang renta saya berantem eh salah deh, bapak saya marah-marah bahkan ngamuk ke mama.
Karena semenjak kecil kayak gitu, saya jadi gak merasa asing bila dengar bapak ngamuk ke mama. Tapi masalahnya adalah, bapak selalu mengancam mau bunuh kami bila sedang ngamuk ke mama, hiks.
Baca :#ReyStory - Tentang Keluarga Dan Masa Kecilku #01Karenanya, waktu kecil kami sangat membenci bapak, terlebih saya yang tinggal lebih usang dengan orang tua.
Selain kami melihat sendiri bagaimana bapak ngamuk, marah, memaki mama, membentak mama, bantingin barang, rusakin banyak rumah, TAPI SAMA SEKALI TIDAK PERNAH SEDIKITPUN MENYENTUH MAMA, apalagi menyakiti tubuh mama.
Dan mama hanya membisu menangis, memohon-mohon biar bapak berhenti marah, berhenti ngamuk dan bantingin ini itu.
Dan kami, bakal duduk meringkuk ketakutan di dalam kamar atau dapur, berdoa biar kami gak dibunuh, dan bahkan saking takutnya saya sering berdoa biar bapak cepat mati, hiks.
Setelah bapak tenang, mama bakal nangis seharian sambil masak, sambil beresin yang berantakan, bahkan sambil tidur. Berikutnya, mata mama bakalan bisul kayak bola pingpong selama nyaris seminggu, *sigh.
Setelah mata bengkaknya hilang, dan bapak kembali normal, gak marah-marah lagi, mamapun jadi ikutan normal, sebelumnya kami bahkan nyaris gak disapa, hiks.
Jeleknya, setelahnya mama bakalan menceritakan hal-hal jelek wacana bapak, dan semakin bertambahlah kebencian kami, terutama saya yang memang terlalu sering sedekah kuping mendengarkan keluhan mama.
Waktu berlalu, saya jadi semakin jauh dari bapak, semakin membencinya, padahal di antara saya dan kakak, bapak lebih peduli dan sayang pada saya, namun kasian beliau, cintanya tak terbalas oleh anaknya ini gegara rasa benci yang sudah berkerak di hati.
Oh ya, sebagai info juga, semenjak kepindahan kami ke Buton dari Manado, dan jadinya mama jadi PNS, otomatis hampir semua kebutuhan keluarga mama yang nanggung.
Bapak sih tetap kerja macam-macam, tapi selalu gagal dan tampaknya itu yang membuatnya depresi.
Bertambahlah kesalnya saya ke bapak, dan belakang layar berdoa biar bapak cepat mati, atau semoga mama berani minta cerai ke bapak.
Dasar doa saya buruk, Alhamdulillah gak dikabulkan Allah, malah dibukakan mata saya sehabis jadinya saya menikah dan menjalankan rumah tangga sendiri.
Well, hingga di sini saya rasa semua orang setuju, dan mendukung saya dalam mengharapkan kedua ortu saya cerai.
Untuk apa juga ijab kabul tersebut dipertahankan.
Dengan sifat bapak yang suka ngamuk, dan parahnya lagi seringnya penyebab dia ngamuk ialah alasannya ialah dia mabuk. Yup, bapak suka termakan teman-temannya untuk menenggak minuman keras, dan Buton (dulu, gak tau sekarang) ialah kawasan yang sangat parah dalam lingkungan suka mabuk-mabukan.
Selain suka termakan untuk mabuk-mabukan, ia juka suka merokok, thats way i hate so much orang merokok. Penyebabnya juga sama, alasannya ialah di sana efek lingkungan wacana rokok dan mabuk-mabukan ada pada level yang amat sangat mengenaskan.
Makanya saya cari jodoh di Jawa, lol. Karena di sana amat sangat sulit menemukan lelaki yang tidak merokok, eh apesnya udah jauh-jauh ke Jawa, teteeepp aja ketemu ama orang perokok, untung usaha saya berhasil membuat si pak suami lepas rokok.
Baca : #AdeReyStory - Tentang Suami PerokokOke balik ke topik awal.
Benar kan bila saya berharap mereka cerai saja?
Untuk apa lagi coba ijab kabul tersebut?
Biaya hidup mama yang nanggung, uang sekolah kami mama yang nanggung, uang ini itu semua mama yang nanggung.
Bapak juga masih sering ngasih duit sih ke mama, cuman sama mama sering disimpan buat dikasihkan lagi bila diminta.
Nah, untuk case kayak gitu, buat apa coba mereka bertahan, hanya bikin belum dewasa makin menderita dan trauma, bukan stress berat akan ngamuknya sih, tapi stress berat ama takut dibunuh, hiks.
Puncaknya, bapak pernah terang-terangan bilang mau nikah lagi, GILAAAA...
Dan tau gak sih, betapa kesalnya saya pada mama, bukannya merelakannya (iya kan, buat apa laki kayak gitu), malah mama sibuk melabrak tuh wanita.
Oh cintaaaa, sungguh kamu begitu membutakan, *sigh!
Belajar dari ijab kabul sendiri
Waktu berlalu, Allah mengabulkan salah satu doa saya. jadi dulu selain berdoa biar ortu cepat cerai, saya juga berdoa biar segera bisa pergi jauh dari rumah ortu.
Sungguh tertekan hidup di rumah itu, mama yang cuek, bapak yang suka ngamuk dan ngancam, lingkungan yang gak asyik.
Rasanya, pergi jauh dari Buton ialah pilihan menarik.
Dan terkabullah doa tersebut, malah diberikanNya saya jodoh dari lokasi yang sangat jauh dari orang tua.
Lalu, menjalani ijab kabul sendiri, seolah Allah membukakan mata hati saya yang tertutup selama ini. Saya jadi tau alasan mengapa bapak selalu ngamuk, mengapa bapak gak betah di rumah dan sering keluyuran dan berakhir termakan mencicipin minuman keras kemudian pulang mabuk dan ngamuk.
Ternyata, tidak lain dan tidak bukan alasannya ialah kesalahan dari mama juga.
Yup, dulu saya mengira, insan paling iblis di dunia ini ialah bapak.
Lelaki gak tau diri, gak nanggung ekonomi keluarga, tapi sok jadi raja.
Ternyata, bapak begitu alasannya ialah mama yang ngasih celah, bahkan bisa dibilang, mama lah yang membuat suami yang 'gak tau diri' kayak gitu.
Pernikahan, sejatinya ialah perjuangan.
Tidak semua orang beruntung bisa mendapat jodoh yang BAIK.
Hanya orang YANG BERSYUKURLAH yang bisa medapatkan jodoh yang terbaik.
Setidaknya itu yang saya dapatkan dalam ijab kabul saya sendiri.
Saya menikah dengan suami sama persis dengan kedua orang renta saya, atas pilihan saya sendiri, bukan paksaan orang, bukan dijodohkan.
Bahkan sebelum menikah, kami sudah menjalani kekerabatan selama 8 tahun.
Tapi, belum juga 3 hari menikah kami sudah berantem, bahkan menikah 2 ahad kami sudah mau cerai, hahaha.
Penyebabnya apa?
Karena salah satu pihak berubah, di ijab kabul saya, si pak suamilah yang coba berubah.
Well, ia sih gak berubah jadi jahat, cuman pengen jadi tegas aja, mungkin efek dari pihak lain yang melihat selama kami pacaran, saya selalu dominan.
Si pak suami ingin saya nurut dia sehabis menikah, sebagai seorang kepala keluarga, dia seharusnya dihormati dalam artian dibiarkan memimpin sendiri oleh istri, dan sebagai seorang istri seharusnya saya nurut atas semua keputusannya.
Jadinya?
Ya saya ngamuk lah, just like my dad hahaha.
Menikah itu ialah kita, bukan saya dirasuki kemauan orang dan dia.
KITA gak akan jadi KITA, bila jalaninnya gak sesuai KITA buat di awal.
Ini pas banget diberitahukan kepada orang ketiga dalam sebuah pernikahan.
"Suami/istri orang terlihat cocok dengan kita, alasannya ialah kita bukan pasangannya, ketika sudah menikah belum tentu dia bakal cocok terus ama kita, bukankah sewaktu menikah dengan suami/istrinya dulu alasannya ialah mereka merasa cocok?"
I mean, apa yang sudah disepakati dan diketahui awal, jangan harap bisa diubah, kecuali dengan cara yang sangat cerdas.
Lah, suami sudah tau, bila saya orangnya keras, saya gak suka orang lelet, saya sangat saklek mengenai kebersihan, kedisiplinan.
Ya jangan harap saya bisa tampil kayak ibunya yang nurut ke bapaknya.
Kalau pengen kayak gitu, jangan nikah sama Rey dong, nikah sama orang yang ibarat ibunya, lol.
Sama, saya juga gak bisa merubah si pak suami kayak orang lain, maksudnya merubah jati diri ya, bukan kebiasaan buruk.
bila kebiasaan jelek kayak saya gampang murka sih wajib banget diubah.
Tapi bila jati diri saya yang memang lebih suka semuanya dipersiapkan ya gak bisa diubah.
Karena toh semua itu demi kebaikan bersama, seandainya si pak suami bisa berpikir secepat saya, dijamin saya bakalan duduk manis di belakangnya, mendukung semua keputusannya, just like his mom to his dad.
Selain itu, ada banyak hal yang membuat kami sering berantem, dan parahnya lagi ialah hal tersebut seringnya menyangkut PRINSIP HIDUP.
Atuh mah, saya pacaran 8 tahun cuman keluyuraaannn mulu, gak pernah bahas wacana ijab kabul secara mendalam.
Baca : Hal-Hal Penting Yang Harus Di Bicarakan Sebelum MenikahLalu gimana? apa lebih baik mengikuti orang-orang yang menyerah? berceraikah?
Hmmm... bila ngikutin ego sih, mendingan gitu, capek tau bahas perbedaan prinsip hidup itu.
Tapiiiii...
BAGAIMANA NASIB ANAK-ANAK SAYA?
Yup, bagi saya, bercerai itu bukan dilema saya, tapi dilema anak-anak.
Kalau dilema nanti bakalan makan apa? terus tinggal di mana? bagaimana hidupnya nanti?
Kalau dijudge orang gimana?
Itu mah bukan dilema bagi saya yang memang sudah semakin matang untuk selalu masbodoh akan hal-hal yang gak penting.
Tapi, ini ialah dilema anak-anak!
Iyaaaa, bila mereka jadi senang sehabis kami pisah.
Bagaimana bila nantinya papinya mau nikah lagi, kemudian punya anak lagi?
Apakah mereka masih bisa mendapat sosok ayah ibarat ketika orang tuanya bersama?
Atau bagaimana bila ternyata saya menikah lagi dan punya anak?
Apakah suami gres saya bakal bisa menggantikan sepenuhnya kedudukan papi mereka?
Anak tak pernah meminta saya lahirkan, sesulit dan sesakit serta secapek apapun saya mengandung, melahirkan dan membesarkan mereka, semuanya KARENA SAYA YANG MAU DAN MINTA, bukan mereka yang minta.
Dari kisah ijab kabul sayalah, semua hal wacana dilema orang renta terbuka.
Ternyata, dilema mereka bukan alasannya ialah bapak saja, tapi juga alasannya ialah mama dan kami anak-anaknya.
Mama yang gak bisa jadi sahabat bicara yang baik buat bapak, pokoknya mama cuman kerja, pulang masak, nyuci dan sebagainya, malamnya abis Magrib pribadi tepar, besok berdiri masak lagi, kerja lagi and repeat.
Bapak gak punya sahabat sama sekali untuk sekadar curhat wacana nasibnya yang sehabis pindah ke Buton sulit banget mendapat rezeki, gak ibarat ketika di Manado.
Seorang workaholic kayak bapak, yang ego seorang suami ingin bertanggung jawab atas kebutuhan keluarganya.
Bapak kesepian di rumah, kami anak-anaknyapun gak ada yang bisa diajak berbicara.
Yup..
Mama saya, sama persis kayak suami saya sekarang.
Dia baik banget, sabar (atau lebih tepatnya gak berakal berbicara, lol), dan perhatian.
Tapi dia gak berakal berkomunikasi, dan gak berakal menguasai keadaan biar normal kembali.
Baca : Suami Nyebelin Tapi NgangeninInti dari curhatan gaje namun insha Allah banyak hikmahnya ini adalah, saya ingin membuatkan cerita, bahwa TIDAK ADA insan yang tepat di dunia ini, sama ibarat suami yang terlihat tidak tepat di mata kita, demikianpun kita sebagai istri, niscaya tak luput dari ketidaksempurnaan.
Bersyukur ialah cara instan untuk berbahagia dalam ijab kabul kita.
Gak perlu merasa sangat terzalimi suami hanya alasannya ialah kita liat suami orang asyik, mau diajak komunikasi dengan baik, mau diajak memperbaiki kekerabatan dengan cerdas, mau berusaha faktual mencari jalan keluar selama ada dilema dalam rumah tangga.
Sedang suami kita? boro-boro cari jalan keluar bareng, di ajak komunikasi aja pribadi ngamuk.
Percayalah, bila ada pasangan lain yang kekerabatan pernikahannya terlihat asyik, itu alasannya ialah cobaan mereka bukan di perkawinan, mungkin di dilema lainnya, yang mungkin saja mereka tutupi.
Dan memang, komunikasi ialah satu-satunya jalan biar ijab kabul tetap berjalan dengan baik.
Lah, bila suami gak mau diajak komunikasi gimana?
Atau kayak si pak suami saya yang sulit berkomunikasi ?
Ya gunakan komunikasi lainnya, mengapa harus terpaku pada suatu cara?
Sedangkan orang yang gak bisa bicara saja memakai segala macam cara untuk berkomunikasi.
Kalau saya lebih menentukan untuk mendinginkan kepala sendiri biar bisa berkomunikasi dengan baik kepada suami, alasannya ialah bila berkomunikasi serius malah bikin makin esmosi.
Nah bagi yang suaminya malah murka ketika diajak komunikasi, mungkin bisa dicoba untuk menyentuh hatinya terlebih dahulu.
Buat suami jatuh cinta ke kita ibarat awal ketemu dahulu, dengan cinta semuanya akan terasa gampang dilakukan.
Tidak ada suami yang baik di dunia ini, selama kita menikah dengan tujuan dibahagiakan dan dimengerti terus.
TIDAK ADA.
Bahkan si pak suami saya yang sekilas bagai malaikat, bukanlah tanpa kekurangan.
Mengapa di sebut malaikat?
Beliau ialah seorang lelaki yang menomor satukan saya dan anak-anaknya di atas segalanya.
Beliau rela menahan lapar asal anak istrinya kenyang dan bahagia.
Beliau rela bersusah payah asal anak istrinya tersenyum senang selalu.
Apapun yang anak dan istrinya minta akan dipenuhi hingga benar-benar di batas kemampuan beliau.
Sungguh ia ialah lelaki malaikat sekilas, namun bukanlah tanpa kekurangan juga.
Demi anak, marilah kita berjuang demi mempertahankan pernikahan.
Karena sejatinya, tidak ada satu orangpun suami yang baik di dunia ini.
Suami yang angkuh bukan selamanya masuk kategori suami buruk.
Karena ibarat bapak saya yang suka ngamuk, tapi ia jauh lebih peduli anaknya secara faktual ketimbang mama saya.
Dan ibarat suami saya yang terlihat sabar dan mengalah, tapi ia juga bukan suami yang tepat bagi istrinya.
Dan yang pasti, seandainya mama dan bapak saya bercerai semenjak dulu, gak mungkin juga saya bisa jadi ibarat sekarang.
Siapa yang bakal menyekolahkan saya, seandainya mama sudah menikah lagi dan punya anak lagi?
Bertahan dan memperjuangkan ijab kabul ialah hal terbijak bagi sepasang orang tua.
Kecuali belum jadi orang renta sih, mungkin lain lagi pemikirannya.
Demikian curhatan gaje yang semoga ada hikmahnya ini, insha Allah berikutnya saya bakal sharing bagaimana saya bertahan dalam ijab kabul dengan beda prinsip, bagaimana menyembuhkan luka dari percobaan pengkhianatan dalam rumah tangga.
Baca : Cobaan di Lima Tahun PernikahanSemoga saya, dan semua perempuan yang masih merasa ada ganjelan di hati terhadap suaminya, selalu bisa diberi kekuatan hati oleh Allah, untuk bisa mensyukuri apa yang ada, bukan hanya menyesali apa yang belum ada, aamiin..
Semoga manfaat :)
Sidoarjo, 31 Agustus 2018
Wassalam
Reyne Raea