Apa Sebetulnya Itu Konsep Higher Order Thinking Skills (Hots)
Apa bahu-membahu konsep Higher Order Thinking Skills yang sedang ramai dibicarakan ini?
Alice Thomas dan Glenda Thorne mendefinisikan istilah HOTS dalam artikel yang berjudul How to Increase Higher Order Thinking (2009) sebagai cara berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada menghafal, atau menceritakan kembali sesuatu yang diceritakan orang lain.
Keterampilan mental ini awalnya ditentukan berdasarkan Taksonomi Bloom yang mengategorikan banyak sekali tingkat pemikiran, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.
Konsep Benjamin S. Bloom dkk. dalam buku Taxonomy of Educational Objectives (1956) itu, sejatinya merupakan tujuan-tujuan pembelajaran yang terbagi dalam tiga ranah.
Ketiga ranah tersebut yaitu Kognitif, merupakan keterampilan mental (seputar pengetahuan); Afektif, sisi emosi (seputar perilaku dan perasaan); dan Psikomotorik, yang bekerjasama dengan kemampuan fisik (keterampilan).
Taksonomi untuk memilih tujuan mencar ilmu ini bisa disebut sebagai "tujuan final dari sebuah proses pembelajaran". Setelah menjalani proses pembelajaran tertentu, siswa diperlukan sanggup mengadopsi keterampilan, pengetahuan, atau perilaku yang baru.
Tingkatan kemampuan berpikir yang dibagi menjadi tingkat rendah dan tinggi, merupakan bab dari salah satu ranah yang dikemukakan Bloom, yaitu ranah kognitif. Dua ranah lainnya, afektif dan psikomotorik, punya tingkatannya tersendiri.
Ranah kognitif ini lalu direvisi oleh Lorin Anderson, David Krathwohl, dkk. pada 2001. Urutannya diubah menjadi
(1) mengingat (remember);
(2) memahami (understand);
(3) mengaplikasikan (apply);
(4) menganalisis (analyze);
(5) mengevaluasi (evaluate); dan
(6) mencipta (create).
(1) mengingat (remember);
(2) memahami (understand);
(3) mengaplikasikan (apply);
(4) menganalisis (analyze);
(5) mengevaluasi (evaluate); dan
(6) mencipta (create).
Tingkatan 1 hingga 3, sesuai konsep awalnya, dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS). Sedangkan butir 4 hingga 6 dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Lalu bagaimana mengenali tingkatan dimaksud dalam proses pembelajaran?
Bloom semenjak awal mengenalkan kata-kata kerja operasional yang bisa dipakai sebagai panduan. Demikian pula dalam versi revisi Anderson dan Krathwohl. Pada tingkat mengingat, misalnya, diindikasikan dengan kata kerja seperti mendefinisikan,mendeskripsikan, mengidentifikasikan, dan kata lain sejenis.
Pada tingkatan lebih tinggi, contohnya mencipta, kata-kata kerja yang bisa dipakai sebagai rumusan tujuan belajarnya antara lain mengategorisasi, mengombinasikan,mengompilasi, merancang, mengembangkan, atau kata lain sejenis.
Lalu, apa masalahnya dengan soal-soal yang terdapat dalam UNBK itu?
Menurut Abduhzen dan Satriawan Salim, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), cara pandang pemerintah yang ingin meningkatkan peringkat Indonesia dengan mengandalkan UNBK hanya bersifat parsial dan tidak utuh.
Abduhzen dalam wawancara denganBuku Pegangan Penilaian Berorientasi HOTS(Higher Order Thinking Skill)
Bila proses pembelajaran dirancang untuk mencapai tingkatan berpikir tingkat tinggi, maka tujuan belajarnya bisa mengadopsi kata-kata kerja yang direkomendasikan dalam konsep Taksonomi Bloom. Kata kerja yang digunakan, memilih proses pembelajaran yang akan dijalani siswa.
Itu artinya, kata-kata kunci yang direkomendasikan Bloom dkk., tak bisa sekonyong-konyong diterapkan dalam soal, jikalau dalam proses pembelajaran tak pernah diterapkan.
Muhammad Nur Rizal, seorang pemerhati pendidikan dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), menambahkan bahwa proses mencar ilmu di kelas selama ini belum bisa menghidupkan budi penerima didik. Kemampuan dalam mengerjakan ujian hanya menurut pada kebiasaan mengerjakan soal berbasis kisi-kisi.
Oleh alasannya yaitu itu, untuk meningkatkan mutu pendidikan, bukan hanya menaikkan tingkat kesulitan soal memakai konsep HOTS, melainkan secara menyeluruh mulai dari kurikulum. Misalnya dengan mengurangi materi dan memperbanyak refleksi dan proses mencar ilmu berbasis proyek.
Akan tetapi, perubahan tersebut harus berlaku dalam sistem perekrutan dan pengembangan profesionalitas guru. Kunci dari kasus ini ada pada para pendidik, ungkap Satriawan. "Sayangnya training guru supaya siap melakukan metode HOTS belum berjalan secara optimal," klaimnya menyerupai dikutip Okezone.com.
Sumber : https://beritagar.id
Filenya Download disini