Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Kemanusiaan Dan Profesionalisme


Assalamu'alaikum :)

Si A mendapat job dari pekerjaan freelance yang digelutinya, dan untuk itu beliau diberi waktu deadline selama 7 hari.
Entah merasa waktu yang diberikan masih panjang, si A membiarkan pekerjaan tersebut dengan maksud akan mengerjakan menjelang waktu deadline.


Sayangnya, di hari ke 5 si A tiba-tiba jatuh sakit dan merasa tidak berpengaruh meyelesaikan kiprah tersebut. Di hari ke 6, sesudah beristrahat penuh, si A merasa lebih fit untuk mengerjakan kiprah tersebut. 
Malang tak sanggup dihindari, di hari tersebut, anaknya malah sakit dan harus masuk RS hingga di infus dan di opname. Karenanya, jangankan menuntaskan tugas dari klien, bahkan mengingat kiprah tersebut saja beliau tak sanggup.
Di hari ke 7, barulah beliau teringat akan kiprah tersebut, dan secepatnya menghubungi si klien yang memperlihatkan pekerjaan tersebut melalui aplikasi chat.
"Ibu B, mohon maaf, saya belum bisa menuntaskan kiprah yang ibu berikan, alasannya saya gres saja sembuh dari sakit, dan sesudah sembuh gantian anak saya kini masuk RS." Kata si A, lewat pesannya.
"Ya ampun mbak, hari ini sudah deadlinenya dan mbak kasih kabar begini ke saya? kemudian berdasarkan mbak, apa yang bisa saya katakan ke boss saya?" Jawab si ibu klien.
 "Iya bu, saya juga tahu dan saya minta maaf yang sebesarnya alasannya itu, sungguh insiden ini di luar kemampuan saya, kalau bukan alasannya sakit, saya gak mungkin mengecewakan ibu" Bela si A.
"kalau merasa gak sanggup, kenapa gres bilang kini mbak? pas di hari deadlinenya pula, harusnya kan bilang dari awal biar saya bisa cari yang lain, masih banyak kok yang mau dan bahkan butuh mengerjakan pekerjaan gini!" Si ibu klien makin sewot.
"Saya kan gak sengaja bu, memang kemarin saya sudah sehat dan berniat menuntaskan pekerjaan tersebut, tapi ternyata anak saya malah jatuh sakit hingga harus di opname dan diinfus, bagaimana mungkin saya seorang ibu malah sibuk mengerjakan pekerjaan lain di ketika anak sakit?" Si A juga ikut sewot.
[kirimin foto anaknya yang sedang terbaring lemah dengan kondisi di infus]

Penggalan dongeng di atas adalah, kisah curhatan seseorang yang kesal alasannya klien yang ngasih kerjaan ke beliau (katanya) gak punya hati nurani.
"kok bisa ada insan berhati watu kayak gitu, seorang ibu pula! anak lagi sakit bukannya prihatin malah sewot dan ngomel" Demikian curhatnya.
Saya yang melihat curhatan tersebut, jadi teringat masa-masa menentukan jadi perempuan karir dahulu.

Bingung Memilih, Antara Kemanusiaan Atau Profesionalisme


Saat sedang menjadi perempuan karir dulu, tidak jarang saya menemukan masalah-masalah ibarat ini.
Menjadi seorang karyawan yang dipercaya oleh boss atau atasan, bahkan bisa dikatakan ajun atasan, menciptakan saya berkali sedikit depresi berada di tengah dilema duduk kasus ibarat ini.

Perusahaan yang harus dibela demi kelangsungan daerah bergantung saya dan banyak karyawan lainnya, sementara itu setiap ketika selalu adaaaa saja duduk kasus yang memaksa saya harus menentukan KEMANUSIAAN atau PROFESIONALISME.

Dari pekerja yang meminta dukungan uang pada kantor dengan sejuta alasan yang tidak mengecewakan menguras emosi. Alasan buat bayar sekolah anak, buat bayar berobat anak, bahkan ada yang buat makan alasannya mereka sudah gak punya uang sama sekali buat makan.

Sementara itu, saya sibuk meminta pengertian pada atasan untuk memperlihatkan kasbon alias hutangan, dan sesudah itu si pekerja ingkar.
Mulai dari kerja malas-malasan, hingga kadang kabur tak terlihat jejaknya, (maklum pekerja harian, sehingga gak bisa terikat kontrak kerja kayak orang kantoran).

Peristiwa itu berulang terjadi, mengusik hati saya yang memang seorang perempuan yang gak tegaan.

Namun ternyata, semua belumlah seberapa.
Dibandingkan harus menentukan profesionalisme atau kemanusiaan, ketika kita berada di pihak kemanusiaan alias yang butuh pengorbanan.

Tersebutlah, si abang Darrell yang memang di bawah usia 6 tahun, selalu saja sakit-sakitan.
Selain bikin saya bermandikan air mata alasannya duka banget harus meninggalkannya di daycare padahal beliau sedang sakit, alasannya saya harus kerja.
Saya pun juga alhasil harus sering izin alasannya gak berpengaruh membiarkan si abang sakit sendiri tanpa maminya.

Puncaknya, sesudah alhasil abang Darrell harus di opname alasannya over diagnosa, saya terpaksa izin hingga seminggu gak masuk kantor.
Baca : Ketika Darrell di Diagnosa Kena Virus KAWASAKI
Atasan saya sih sama sekali gak melarang saya izin, bahkan sesudah saya masuk si atasan baik hati meski sedikit eror itu malah memperlihatkan saya transferan dana yang tidak mengecewakan banget buat bayar biaya RS.

Tapiiiiii, justru saya sendiri yang merasa tersiksa.
Saya memegang peranan yang tidak mengecewakan penting di perusahaan tersebut, setiap ahad ada semacam pembayaran yang harus dibayarkan ke pekerja lapangan beserta beberapa klien subkon.
Yang mana, mereka tidak bisa dibayar, kalau saya belum periksa dan ACC.

Thats mean, kalau saya sering izin gegara anak sakit, hanya ada 2 kemungkinan.
Pekerja harian yang butuh banget duit jadi tertunda pembayarannya, atau... perusahaan lama-lama dirugikan alasannya pembayaran lebih dan si pekerja gak bertanggung jawab.

Sungguh saya dilema.
sumber dari sini

Thats way, salah satu alasan mengapa saya menentukan jadi IRT adalah, alasannya saya gak mau jadi penyebab tertundanya rezeki orang lain, alasannya duduk kasus saya sendiri.
Baca : Memilih Makara WORKING MOM? Jangan Sampai Merugikan Orang Lain!
Kembali pada duduk kasus yang ada di cuplikan di atas, saya tahu, gak pantas banget saya mengomentari duduk kasus orang.
Hanya alasannya duduk kasus tersebut sudah berada di jalur umum, saya kok jadi pengen ngasih masukan meski gak diminta deh hahaha.

Menurut saya, kemanusiaan itu wajib dimiliki oleh semua orang, namun janganlah kemanusiaan itu diciptakan alasannya kesalahan kita sendiri.
Untuk duduk kasus tersebut, kalau saya jadi di posisi si A, bahwasanya saya punya banyak waktu untuk mengerjakan hal tersebut. Ada 7 hari!.
Sesibuk apapun, seharusnya sebagai bentuk profesionalisme,  saya harus berpikir layaknya seorang yang profesional.

Seorang yang profesional niscaya akan mempertimbangkan hal-hal yang mungkin saja terjadi di luar batas kemampuan manusia, oleh alasannya itu untuk saya pribadi, sangat tidak berani menunda-nunda pekerjaan hingga di ujung deadline.
Minimal, sebelumnya sudah ada penyelesaian sekitar 50-75%, sehingga kalau terjadi sesuatu di simpulan waktu, klien juga bisa memahami meskipun sulit.

Sebagai orang yang pernah berada di posisi klien tersebut, saya juga memahami kesewotan si klien.
Bagaimana enggak? memperlihatkan job ke si A itu benar-benar mempertaruhkan keprofesionalismenya terhadap atasannya atau kliennya juga.
Coba deh kita pikir, bagaimana kalau ternyata job tersebut memang benar-benar harus digunakan di hari yang sudah ditentukan tersebut.

Apakah hati nurani kita juga tidak tergoyahkan memikirkan nasib orang banyak jadi tersendat alasannya duduk kasus kita seorang?
Jadi, bukannya si ibu klien gak punya hati atau berhati batu.
Tapi alasannya si ibu juga bingung, alasan apa yang masuk logika bisa dikatakan ke atasannya?
Sedang waktu penyelesaian job tersebut ada 7 hari?

Yang pasti, meskipun si klien punya atasan yang pengertian, beliau juga bakalan merasa sangat bersalah alasannya salah menentukan mempercayakan job tersebut pada kita.
Jadi...
Marilah kita bekerja dengan penuh profesional, semoga kemanusiaan yang terjadi, bukan alasannya kesalahan kita yang suka menunda-nunda waktu.
Tapi murni alasannya force majeur *tsah, bahasanya hahaha.

Sebagai generasi yang sudah renta eh senior, sebijaknya kita mencontohkan hal-hal yang baik kepada generasi muda, bisa memilah mana profesionalisme mana kemanusiaan dengan baik.
Jangan sampai, generasi muda jadi kehilangan rasa kemanusiaannya hanya alasannya kita (khususnya para ibu) salah memperlihatkan pola kepada mereka.

Seperti duduk kasus menunda-nunda pekerjaan sehingga alhasil merugikan kita sendiri dan orang banyak.

Semoga kita bisa menjadi pola yang baik buat anak kita dan generasi muda lainnya, aamiin.
Ada yang punya dongeng sama perihal keprofesionalisme dan kemanusiaan?
Share di komen yuk.

Semoga manfaat :)

TPJ AV - 19 Agustus 2018

Love

REYNE RAEA